Jack The Giant Killer
Jumat, 29 April 2011
Jumat, 22 April 2011
Passion of the Christ, 'Kisah Sengsara dan Wafat Tuhan'
Ini adalah suatu film yang sangat luar biasa, meski penuh kekerasan dan darah. Dan tidak ada apapun yang dapat menyiapkan Anda menerima bagaimana brutalnya, bagaimana mengejutkan dan kesakitan serta darah versi Gibson untuk menggambarkan pengadilan dan penyaliban Yesus Kristus.
"THE PASSION" sangat berbeda 180 derajad dari apa yang pernah dibuat di film dimana orang sudah ramai dengan bermacam-macam reaksi atas film tersebut (debat yang terbaru atas anti-Semitism hanya suatu prasangka menyangkut celah persepsi). Film sepanjang 126 menit itu dan sekurangnya sekitar 100 menit mungkin lebih dikhususkan secara detail membahas penderitaan dan kematian Yesus Kristus.
Beberapa penonton akan melihat seperti diungkapkan kebenaran, surat wasiat yang terakhir tentang bagaimana Kristus menderita untuk menebus dosa manusia.
Film-film biasanya tidak menghasilkan reaksi ekstrim seperti itu, dan semua orang perlu sedikitnya menyetujui bahwa kesenimanan dan teknik brilian yang dibuat dalam THE PASSION benar-benar tak dapat dipungkiri.
Gibson, seorang penganut Katolik tradisional, membiayai, mengarahkan, menulis dan menjadi produser "THE PASSION". Untuk menceritakan, ia menggunakan gabungan dari 4 Injil Perjanjian Baru, seperti halnya tulisan hasil inspirasi yang tak tercakup di Alkitab dan apa yang tampak seperti baru saja digunakan di scene dan dialognya. Dialog semua dalam Aramaic dan Latin, dengan judul bahasa Inggris, yang memberi perasaaan aneh.
Semua dimulai dari Taman Getsemani dimana Yesus (James Caviezel) berdoa untuk memohon kekuatan atas apa yang akan Ia pikul. Ia ditangkap oleh pendeta-pendeta tinggi Yahudi yang melihatnya sebagai penghujat Allah yang berbahaya. Setelah suatu pengadilan percobaan, yang ditentukan lebih dahulu, mereka membawanya kepada kuasa bangsa Roma, Pontius Pilatus, sebab mereka tidak mempunyai kuasa yang sah dan undang-undang untuk menghukum Yesus sampai mati.
Pilatus mencoba untuk mengelak tanggung jawab, mengirimkan Yesus ke Raja Herodes untuk dihakimi; dia yang dicambuk dalam percobaan untuk memenangkan para imam; dan akhirnya membiarkan masyarakat memilih mana yang ingin dihukum mati, Yesus atau Barabbas. Ia menghukum Yesus untuk disalibkan, tapi masih sangat panjang, jalan penuh derita menuju Golgotha dan penyaliban itu sendiri dan akhir singkat dari Gibson mengenai kebangkitan.
Sepanjang kisah itu, ada sekitar selusin kilas balik ringkas-- ke Yesus yang berkotbah, Perjamuan Malam terakhir, dan lain lain-- yang menyediakan beberapa konteks. Tetapi hal itu tidak cukup untuk meluaskan kesempurnaan Kristus. Itu bukan apa yang Gibson sedang berusaha lakukan, tetapi itu akan meninggalkan kesan beberapa penonton bahwa ia telah memusatkan terlalu banyak pada kesakitan fisik dan tidak cukup pada alasan yang metafisis di belakang itu.
"THE PASSION" dalam peristiwa akhir dari hidup Jesus', telah diceritakan tak terbilang waktu, mulai dari ceritera sandiwara panggung ke TV miniseri, tetapi tidak pernah dengan yang serealistis seperti itu, lukisan fisik yang menderita benar-benar dibuat nyata. Setiap bilur, setiap luka dan setiap tetes darah Yesus terekam dengan detail. Pembuat film melibatkan beribu-ribu keputusan, dan Gibson hampir selalu memutuskan untuk memfilmkan yang paling mengerikan.
Di film hampir penuh diisi dengan siksaan yang tidak dapat dijaga dan kesakitan, urutan yang menonjol adalah penyiksaan Kristus serdadu Roma yang sadistis. Hal itu terus dan terus, ketika Anda berpikir itu sudah selesai, penyiksaan itu lalu dimulai lagi, memberi berbagai rasa kesakitan yang amat sangat. Lagi-lagi, Anda berpikir hal itu sudah berlalu dan lagi akan lebih banyak lagi cambukan. Adegan itu berlangsung sekitar 10 menit dan rasanya seperti 1 jam.
Meskipun nilai spiritnya tidak sama dengan film-film penuh kekerasan seperti "A CLOCKWORK ORANGE," "THE WILD BUNCH" atau "THE TEXAS CHAINSAW MASSACRE," "THE PASSION" lebih memuat banyak kekerasan dibandingkan film-film selama ini. Dan ini karena merupakan kejadian sejarah yang benar-benar terjadi dan karena ini menimpa seorang yang dicintai, maka kekerasan yang terjadi terkesan lebih brutal.
Apakah film ini "bagus" atau "luar biasa?" Mungkin reaksi masing-masing orang (secara mendalam, teologi dan artis) akan berbeda. Secara seniman mungkin akan tergerak oleh kedalaman perasaan, dengan ketrampilan dari para aktor dan teknisi, dengan keinginan mereka untuk menyelami proyek ini apapun juga.
Untuk mendiskusikan penampilan individual, seperti lukisan heroic James Caviezel hampir mencapai pokoknya. Ini bukan suatu film tentang penampilan, walaupun itu sangat kuat, atau sekitar teknik, walaupun itu sangat mengagumkan atau sekitar cinematography, atau musik ( walaupun dukungan John Debney membuatnya makin hebat).
Ini merupakan suatu film tentang suatu gagasan. Suatu gagasan untuk secara penuh mengerti Penderitaan Kristus pada saat-saat akhir. Gibson mengkomunikasikan gagasannya dengan suatu pemikiran single yang cepat. Banyak yang akan tidak sependapat. Beberapa akan setuju, tetapi dikejutkan oleh penanganan grafis.
Film penuh darah yang melibatkan 12 jam terakhir kehidupan Kritus, terjual tiketnya senilai US$72 juta hanya dalam 3 hari setelah pemutaran perdana yang mulai 27 Februari, kata petugas film itu Minggu—terbaik ke-7 setelah dibuka 3 hari sepanjang waktu dan yang terbaik untuk pemutaran perdana Februari.
Sejak diputar perdana Rabu pekan lalu, THE PASSION OF THE CHRIST meraup kotor US$117,5 juta termasuk sekitar US$3 juta penjualan pemutaran perdana dalam 2 hari pertama. Nilai itu mewakili terbaik kedua untuk penayangan perdana Rabu, dibelakang "THE LORD OF THE RINGS:THE RETURN OF THE KINGâ€, 2003 dengan US$124,1 juta dalam 5 hari perdananya.
Akan tetapi kesuksesan THE PASSION OF THE CHRIST nyaris setara yang diraih "THE RETURN OF THE KING" dalam 3 hari senilai US$72,7 juta. Rekor pendapatan tertinggi dalam 3 hari senilai US$115 juta masih dipegang SPIDER-MAN, 2002.
THE PASSION OF THE CHRIST juga menduduki terbaik kedua- best R-rated opener, dibelakang "THE MATRIX RELOADED", 2003 dengan meraup US$92 juta pada pemutaran selama 3 hari.
Film yang dibintangi James Caviezel sebagai Yesus dan Monica Bellucci sebagai Maria Magdalena, menyulut kontroversi di kalangan Yahudi yang disalahkan atas penyaliban Yesus.
Selasa, 19 April 2011
Minggu, 10 April 2011
'WAITING FOR SUPERMAN', Ketika Pendidikan adalah Modal Awal Menuju Kesuksesan
Buat orang Timur seperti kita, Amerika jelas adalah sebuah negara yang maju dengan pasti warganya pun mendapatkan pendidikan yang sangat maju pula. Nyatanya, anggapan itu tak sepenuhnya benar. Sistem pendidikan umum yang dijalankan di negeri Paman Sam ini nyatanya tak sebagus yang terlihat dari luar, banyak celah pada sistem yang membuat mereka yang tak terlalu 'beruntung' jadi terlewatkan dari program mencerdaskan bangsa ini.
Sistem pendidikan Amerika memang sempat membuahkan orang-orang besar nyatanya tak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Semboyan bahwa sistem pendidikan Amerika tak akan menjangkau semua anak ternyata hanyalah sebuah semboyan yang tak berwujud. Jutaan anak Amerika ternyata tak cukup beruntung untuk mengenyam pendidikan ini. Bukannya mendorong mereka untuk lebih maju, sistem pendidikan yang berjalan justru malah seolah menghalangi mereka dari kemajuan.
Davis Guggenheim, sutradara yang sempat meraih piala Oscar lewat film dokumenter berjudul AN INCONVENIENT TRUTH di tahun 2006 lalu mencoba membuka mata dunia dengan membuat film dokumenter berjudul WAITING FOR SUPERMAN ini. Para murid, keluarga mereka dan para pengajar adalah sumber materi yang menjadi bahan Davis dalam menyusun kisah tragis berdurasi 102 menit ini.
Kamis, 07 April 2011
Last of the big-screen baddies
INDONESIAN cinephiles may be in for a disappointing year. Since February imports of Hollywood films have been on hold, and cinemas are running short of new ones to screen. The reason is a row over a fairly small amount of tax. Indonesia’s tax authority has started enforcing a long-neglected rule that the royalties on imported films are taxable as well as the physical reels of celluloid. It is demanding 31 billion rupiah ($3.6m) in back taxes for the past two years’ worth of imports. While the importers appeal against the decision they have stopped bringing new Hollywood blockbusters into the country.
The dispute has brought into the limelight a small but rapidly growing industry that is a vestige of what was once a web of monopolies and cartels that enriched relatives and cronies of the Suharto regime at Indonesians’ expense. Friends and family of the former dictator enjoyed exclusive franchises over whole industries, from essentials like flour and cement to luxuries like films. From the 1980s the Hollywood studios had to distribute their output through Group 21, a company in which one of Suharto’s cousins then owned a stake (his family has since sold this).
When Indonesia’s economy collapsed in 1997-98, bringing the regime down with it, the IMF insisted on the dismantling of the monopolies as a condition of giving aid. A fair-competition agency, the KPPU, was created, and Suharto’s successors opened up industries such as telecoms, banking and civil aviation. The entry of new competitors, Indonesian and foreign, has brought great benefits to consumers.
With their patriarch out of power and their monopolies busted, the Suharto family’s ventures have largely fallen by the wayside, though the wealth they amassed in the bad old days has spared them from hardship. Of the firms set up by the former regime’s cronies (ie, friends but not family), many are surviving in the new, competitive world, albeit without the dominance they once enjoyed. Indonesia is still plagued by corruption, red tape and rent-seeking, but its politics are so fluid that it is difficult for tycoons to lock down permanent gains, says Hal Hill, an expert at the Australian National University.
In the cinema business, however, the wave of liberalisation has been slow to arrive. The three largest film importers, which between them control the local distribution rights to all Hollywood blockbusters, are all part of Group 21, which also owns the country’s dominant cinema chain, Cineplex 21. It had the market almost to itself until 2006, when a new chain, Blitz Megaplex, began opening screens in shopping malls. In 2009 Blitz complained to the KPPU about Group 21’s dominance of distribution and the impact of this on rival cinemas, but the case was dismissed for lack of evidence. Today, Group 21, which declined to talk about the case, still controls more than 500 of Indonesia’s 600-odd screens.
Although some would like the KPPU to have been tougher in this and other cases, that the country has such an independent competition regulator puts it ahead of some of its peers in the region, notes Edimon Ginting, an economist at the Asian Development Bank. In 2010 the World Economic Forum placed Indonesia 35th out of 139 countries in terms of efficient trustbusting, a bit better than its overall business-friendliness ranking of 44th.
By Asian standards, Indonesia’s box-office takings are modest: around $150m in 2010, one-tenth of China’s. But they have doubled in the past five years (as has indigenous film production, which withered in the repressive Suharto era). Ananda Siregar, Blitz’s boss, worries that the row over import duties will lead to a prolonged drought of American blockbusters, halting that strong growth. Tax officials have said that their crackdown against Group 21 has only just begun. But instead of simply taxing the company more, it would be better if the authorities could find a way of giving its rivals a better chance at competing.
Minggu, 03 April 2011
Jumat, 01 April 2011
Langganan:
Postingan (Atom)