Menjadi gagap sangat menyakitkan bagi sebagian orang yang terpaksa harus mengerem aktivitas bicaranya jika tak mau jadi bahan lelucon. Tapi apa jadinya jika kondisi 'patah-patah omongan' ini dialami seorang raja yang harus tampil berwibawa saat berpidato di depan publik. Beban sosial inilah yang dihadapi Raja Albert Frederick Arthur George (Bertie) saat harus memimpin Inggris Raya setelah meninggalnya Raja George V.
Bertie, panggilan keluarga untuk King Albert, merasa tertekan dengan kondisi yang dialaminya. Menjadi putra Raja yang seringkali harus berbasa-basi dengan segala kunjungan kerajaan, berbicara di depan publik, dan berbicara dengan ayahnya (Raja George V) adalah saat-saat yang menyiksa.
Beragam cara dicoba Bertie untuk menyembuhkan gagapnya, termasuk melakukan terapi mengulum kelereng, semua pernah dilakukannya. Sayang tak satupun bisa mengurangi kegagapannya. Sampai akhirnya istri Bertie (Elizabeth Bowles-Lyon), bertemu dengan Lionel Louge, terapis bicara asal Australia.
Lionel bersedia membantu, asal terapi dilakukan di kantornya dan menolak memanggil Yang Mulia. Batasan antara Raja dan rakyatnya mendadak hilang, saat Bertie dan Lionel bertemu di ruang terapis Lionel yang suram dan sederhana.
Kesabaran Lionel akhirnya bisa mengurangi kegagapan Bertie dan membantu mengubah sifat Bertie yang tak sabaran, emosional, dan rasa minder yang terbentuk sejak kecil. Tekanan dari Raja George V dan perlakuan pengasuhnya membuat kegagapan Bertie semakin menjadi saat dia dewasa.
Kenyataan pahit harus menjadi raja setelah David (King Edward VIII) menolak menduduki tahtah monarki Inggris dan lebih memilih menikah dengan janda dua kali cerai, membuat Bertie semakin tersiksa akan beban sosial menjadi raja.
Bertie semakin stres, tidak hanya ketakutannya harus berbicara dengan anggota parlemen, tapi juga harus berpidato di depan publik sebagai Raja kerajaan Inggris untuk mengumumkan perang terhadap Jerman, pada 3 September 1939.
Proses Bertie mengatasi kegagapan, kesetiaan Leonal, dan terkuaknya identitas Leonal sebagai terapis gadungan membuat film ini sangat menarik. Akting Colin Firth sebagai Bertie begitu cerdas, bicara gagapnya terasa sangat nyata diramu dengan ekspresi emosi yang meledak-ledak. Tak heran jika Firth masuk dalam nominasi aktor terbaik dan mengukuhkan THE KING'S SPEECH sebagai film terbaik Oscar tahun ini.
Melihat film ini, terasa trenyuh sekaligus takjub. Tak pernah sekalipun membayangkan begitu putus asanya mengeluarkan sederet kalimat sederhana yang telah tersusun di kepala, tapi yang keluar hanya sepatah kata, decakan lidah tak jelas, dan sedikitnya butuh waktu lebih dari 10 menit hanya untuk berucap satu kalimat yang terdiri dari enam kata. Sungguh membutuhkan perjuangan lebih untuk bicara dengan normal tanpa harus membuat lawan bicara mati bosan menunggu si gagap bicara.
Tak ada yang lucu dengan kondisi 'kegagapan' yang selama ini kerap jadi jualan lawakan-lawakan di televisi lokal, tapi kegagapan adalah masalah kita. Bagaimana sikap kita mendengar, bersabar dengan penderita gagap, dan tak menjadikannya olok-olokkan.
Film THE KING'S SPEECH tidak saja bagus dari pemilihan tema, akting yang brilian, dan kekuatan cerita, tapi juga menjadi kisah yang menginspirasi jutaan penderita 'patah bicara' bahwa mereka ada di antara kita. Film ini juga menyindir kita untuk lebih bisa mendengar, berjuang dan bersabar laiknya penderita gagap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar